Bening

Akhirnya waktu sedikit demi sedikit memberi jawaban. Air mata yang sudah banyak jatuh, lembabkan tanah. Daun-daun kecil mulai kembali tumbuh dengan bunga. Kupu-kupu mulai silih berganti datang minta dijamu indah. Perasaannya sudah kembali membaik lupakan perih yang pernah mengiris pilu. Mulai memupuk hijau, warna-warni mengobati diri sendiri. Dari keruh hati perlahan menjadi bening, atas kemauannya sendiri.

Perasaan yang Runtuh

Hujan malam ini menjadi pengantar. Berat rasanya beban yang dipikul Ranum. Dia pun tak tahu bisa melantangkan kegusarannya pada manusia mana. Mungkin yang bisa dilakukan hanya bersujud sambil bersendu dilumuri air mata yang tak tahu sampai kapan berhenti. Dia hanya manusia yang tak mampu menahan kecewa. Marah yang mudah meluap, emosi yang tak terbendung, kadang membuatnya merasa bersalah. Ranum benar-benar tak tahu bagaimana bisa dia bertindak bijak. Kadang dia ambil waktu sejenak untuk menetralkan perasaan, mata yang kosong, nafas yang dihela panjang. Namun, saat semuanya mulai terasa dan tak terbendung, dia sekap dirinya dengan bantal dan mulai menangis lantang. Berharap kumpulan bulu angsa bisa meredamkan kekecewaan. Sambil menenggelamkan kesedihan yang sering pura-pura dia tak acuhkan.

Tidur Enggan, Sadar pun Tak Mau

Perihal hati Ranum saja tak bisa dibenahi dengan baik. Alunan musik jazz instrumental mulai diacak tanpa henti di lagu mana pun yang menurutnya pas. Hari mulai gelap dan ia tak beranjak sedikit pun ke luar kamar singgasananya. Entah bagaimana dia buang air besar atau kecil, sepertinya hasrat mengeluarkannya pun tak ada. Bolak-balik menengok jendela, seperti menunggu kereta labu datang di dunia nyata, ya tidak akan mungkin.

Mungkin saat ini waktu yang dirasakannya seakan tak akan lekang. Semoga dia tidak mati berdiri, menunggu kedatangan seseorang yang tak akan pernah lagi datang. Semoga saja angin duduk tidak menerobos tubuhnya dan mematikannya jadi arwah penasaran. Biasanya orang-orang akan spontan mengatakan “Ih! Amit-amit” sambil sedikit mebelalak.

Saat mulai lelah, Ranum membaringkan tubuhnya hingga pulas tertidur. Berharap sedikit lupa dengan keresahannya. Sial, ternyata mimpinya juga tak jauh-jauh dengan perihal yang sama. “Tidur enggan, sadar pun tak mau” sepertinya jadi peribahasa yang pas untuk seminggu ke-depan.

sebuah “mesej” dari human

pernah ada masa ngerasa nggak becus jadi manusia, nggak becus sama hidup. seharian goblok-in diri sendiri, karena nyesel. ngerasa malu, mikirin orang-orang punya perspektif negatif. sampe capek, capek mikirin. sampe akhirnya mulai “embrace” terima segala kekurangan diri sendiri. mulai nggak mau mikirin “pikiran orang”.

mau mulai nata hidup lagi karena diri sendiri, bukan karena kata orang lain. persetan omongan negatif, toh bukan mereka yang kasih nafkah. paling-paling mereka ngomong negatif durasi terlama 30 menit, tapi suka ngerasa diomonginnya seharian. faktanya, tiap orang gapeduli-peduli amat sama orang lain, yang paling dipeduliin ya diri mereka sendiri. sekarang yang paling penting, berbuat baik untuk diri sendiri, berbuat baik ke orang lain.

jangan ngerugiin orang lain, jangan nyakitin orang lain. kalo masih ada benci, biarin aja, benci gak bisa ilang gitu aja, tapi biar benci jadi masalah diri sendiri, jangan sampe benci sama orang bikin melakukan tindakan yang merugikan untuk diri sendiri. maafin orang itu sulit, tapi biar waktu, hati, dan pikiran yang mulai mendewasakan diri kita sendiri.

Renungan

Ambil waktu beberapa detik yang biasanya sering dicuri. Coba pisahkan raga dari jiwa untuk melihat diri dari kejauhan. Terlalu jauh melambungkan dada, angkat dagu karena sering merasa besar. Lupa setiap nikmat hanya sebuah titipan sementara. Bahkan sering lupa kalau sedang diberi nikmat dunia. Kadang diri sering merasa besar atas pencapaian. Lupa bersyukur pada Tuhan. Tanggalkan semua rasa lebih, turunkan dagu untuk bersyukur sebentar.

-dari aku si ujub yang sering lupa kalau semua titipan yang sementara.

Tekadku

Detik akan terus berjalan tanpa mundur ke belakang. Tak ada juga yang bisa buatnya berhenti. Rasanya baru kemarin aku merengek meminta boneka Barbie atau hanya sekedar minta disuap nasi. Sekarang sudah ada aku dan tanggungjawabku sebagai manusia yang ingin berbakti. Beri cinta beri harapan untuk diri sendiri dan orang yang kupeduli. Mulai mencintai kegagalan untuk menemukan keberhasilan. Tidak ada kekalahan karena hanya ada pembelajaran. Menatap masa depan dan bermimpi besar. Banyak bersyukur daripada mengeluh. Mengingat alasan-alasan terkuatku saat merasa tersungkur. Kadang ingin kembali menangis hanya karena tidak dituruti Ibu. Tapi kali ini banyak tangisan yang dihapus untuk bangkit dari diriku yang sedang jatuh.

Si Pecinta Dunia

Resahku tiap pagi sudah sering tak tertahankan. Tiap mentari berganti datang kembali dini hari, banyak penyesalan diri dari aku yang tak becus hidup. Aku dihina batinku yang marah karena tak diberi makan iman.

Gusarku di Minggu pagi. Mengingat rekaman memori semalam sebelum pulang. Menyadari banyak yang disesali. Tarik napas perlahan, tutup telinga apa kata orang. Atur hati atur emosi, semua sudah berlalu pergi. Kecewa setengah mati dengan diri sendiri. Sekarang merasa hampa dan rasa tak bernyawa. Rasanya aku ingin menghilang dari keramaian di kesendirian. Hati sudah luluh lunglai tak punya energi hadapi detik yang terus bergulir.

Sampai kapan jiwaku pergi dan terbang. Bersiul kencang panggil aku yang sedang hilang.

Tanpa Alasan

Sudah habis terurai air mata tak ada yang tersisa. Laksmi sudah muak akan penolakan harapan yang sering didambakan. Berjanji pada diri untuk menutup ruang pilu yang buat dirinya sering merasa ngilu. Redam emosi dengan diam, sudah khatam dilakukan berulang. Benci ketika diri sudah didistraksi prediksi yang buat ngeri hati. Mendadak dia merasa seorang dukun sakti padahal tidak pasti.

“aku tak piawai menyanyi merdu atau menjentikkan musik tua untuk mendapat simpatimu.”

“jangan juga kau minta tembang Sunda, untuk melihat kedalamanku dalam berbudaya dan membuatmu jatuh cinta”

“yang aku punya, segenap tulus rasa yang tak bisa diurai kecuali oleh Tuhan dan takdir-Nya”

“walau aku tahu, kau memang tak ingin bersamaku sedari bertemu dan lantunkan bualan janjimu”

Lagi, lagi, dan lagi.

Hiruk pikuk hati tak bisa dibodohi. Bagai ditancap dan dicabut berulang kali. Rasanya nyawa hampir habis menyadarkan diri. Berusaha kembali hidup. Padahal emosi hanya fana tapi terasa nyata. Rasanya berjuang satu dekade padahal hanya pergantian detik yang terasa lama. Menutup mata akan tawa yang menjadi luka. Motivasi hanya sebuah ilusi. Memang hanya ingin bermanja dengan perih. Bersumpah jera, tidak akan bertemu dengan nasib yang sama.